Sila keempat dari Pancasila dengan jelas menyebutkan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sistem kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Inilah Demokrasi Pancasila, tidak condong ke otokrasi ataupun liberal.
Kita patut bersyukur dengan sistem Demokrasi Pancasila yang kita anut. Mengapa? Dalam “kegamangan” pemerintah pusat menentukan status keistimewaan Yogyakarta, dan antara kekhawatiran menyimpang dari kaidah demokrasi, mendefinisi ulang dan menghayati Demokrasi Pancasila adalah jawabannya. Dengan melakukan dua hal tersebut, niscaya penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta akan dipandang sebagai ciri khas demokrasi kita, bukan malah dianggap mencederai demokrasi.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang diserahi tugas oleh Presiden untuk membahas RUU Keistimewaan DIY (RUUK), tidak perlu alot berpolemik masalah yuridis, sejarah, falsafah, dan sebagainya mengenai keistimewaan Yogyakarta. Karena inti permasalahan adalah penetapan atau pemilihan. Untuk itulah perspektif Demokrasi Pancasila yang harus dipertajam.
Yang paling utama dari Demokrasi Pancasila adalah mengedepankan hikmat/kebijaksanaan (sila keempat). Dalam hal ini kedua pemimpin terkait yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sri Sultan HB X telah menunjukan sikap sebagai negarawan sejati dengan menyerahkan perihal keistimewaan ini kepada (kehendak) rakyat. Sikap seperti ini harus ditularkan kepada anggota DPR RI yang bertugas membahas RUUK. Dan selanjutnya ditularkan kepada rakyat Yogyakarta khususnya dan rakyat Indonesia umumnya.
Dengan sikap penuh hikmat/bijaksana niscaya penetapan (sebagai keistimewaan) adalah sikap yang tepat dan penolakan akannya adalah sikap tak elok dalam berdemokrasi. Sederhananya, anggap saja status keistimewaan dengan penetapan ini sebagai sebuah pemberian. Maka tidak elok bukan jika sebuah pemberian diambil kembali?
Yang perlu diperhatikan berikutnya adalah bahwa tujuan dari sistem demokrasi ini adalah memberikan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima). Dan, keadilan sampai kapanpun tidak diartikan sebagai sama rata dan sama rasa. Sehingga diistimewakannya Yogyakarta dengan penetapan tidak berarti pemerintah telah bersikap tidak adil dengan daerah lainnya di wilayah NKRI. Tetapi karena kepatutan dan keberpihakan sejarahlah Yogyakarta berhak diistimewakan. Selain itu, fakta menunjukan bahwa dengan sistem penetapan Yogyakarta malah disebut sebagai miniatur NKRI karena suasana harmonis yang terbangun ditengah keragamannya.
Oleh karena itu, dengan menghayati Demokrasi Pancasila sebagai sistem demokrasi istimewa milik bangsa Indonesia maka RUUK tidak lagi akan dipandang sebagai dapat mencederai demokrasi, tetapi sekali lagi adalah sebagai ciri khas demokrasi kita yang tidak dipunyai Negara manapun. Bersatulah dan banggalah dengan Demokrasi Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar